Senin, 12 November 2012

MAKNA HIJRAH DAN SEJARAH TAHUN BARU HIJRIYAH

Waktu terus berputar tanpa pernah berhenti. Ia bahkan tak bisa diperlambat ataupun dipercepat meskipun kita menginginkannya. Alhamdulillah hari ini kita memasuki tahun baru Islam 1434 Hijriyah, sejak kemarin sore hingga malam banyak umat muslim yang merayakan pergantian tahun dalam Islam ini dengan berdoa bersama, berdzikir, pawai Muharram, sampai tabligh akbar, mulai dari anak-anak, remaja, bapak-bapak hingga para orang tua semua. Dimulai dengan membaca doa akhir tahun sebagai bahan renungan kita terhadap apa yang kita jalani dan kita isi kehidupan ini selama satu tahun kebelakang. Setelah itu membacakan doa awal tahun ba’da maghrib untuk memohon agar di tahun yang sekarang kita diberi kekuatan untuk mengisinya dengan kebaikan dan terhindar dari nafsu keburukan.
Ada ayat inspiratif yang bisa dijadikan bahan evaluasi diri atau muhasabah transendental guna memperbaiki diri dalam setiap langkah kehidupan yang sementara ini:“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Hasyr: 18)

 
Sejarah pergantian tahun dan hitungan tahun dalam Islam merupakan rangkaian sejarah penyebaran agama Islam dan perjuangan kaum muslimin. Kalender hijriyah adalah kalender Islam. Penanggalan yang juga dipakai standar dalam penentuan waktu-waktu ibadah dalam Islam. Puasa diwajibkan pada bulan Ramadhan, haji pada bulan Dzulhijjah, dan lain sebagainya. Sebenarnya, nama-nama bulan ini telah dipakai di zaman Rasulullah SAW. Maka kita pun mendapati firman Allah SWT terkait dengan perhitungan waktu dalam hijriyah ini:
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS : At-Taubah : 36)
Permasalahan muncul pada zaman kekhilafahan Umar bin Khatab. Saat itu Abu Musa Al-Asy.ri sebagai salah seorang gubernur menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Mendapatkan masukan ini, khalifah Umar bin Khatab menggelar syura (musyawarah). Maka dikumpulkanlah beberapa sahabat senior waktu itu. Diantaranya adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhan bin Ubaidillah.
Dalam musyawarah itu muncullah beberapa usulan dimulainya tahun Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad (kelahiran) Rasulullah SAW. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad SAW menjadi Rasul. Dan ada pula yang mengusulkan berdasarkan hijrah Rasulullah SAW. Usul terkahir ini datang dari Ali bin Abi Thalib, dan usul inilah yang kemudian disepakati. Maka ditetapkanlah tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah SAW. Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku di masa itu di bangsa Arab selama ini.
Betapa luar biasanya para pendahulu kita dari kalangan sahabat radhiyallaahu ‘anhum. Mereka menyepakati bahwa kalender hijriyah dimulai dari masa hijrah ke Madinah. Bukan dari waktu kelahiran Rasulullah, bukan dari diangkatnya Muhammad sebagai Rasulullah, bukan pula dari peristiwa lainnya. Sesungguhnya, dalam penentuan awal kalender Islam ini terkandung hikmah besar. Jika kelahiran Rasulullah, itu adalah skenario dari Allah. Demikian pula diangkatnya Muhammad sebagai Rasulullah, itu adalah kehendak Allah yang sulit bagi kita untuk mengambil keteladanan dari peristiwa tersebut. Itu karunia, itu rahmat. Bukan pelibatan ikhtiar dalam kapasitas yang besar.
Namun hijrah. Subhaanallah... betapapun ia adalah skenario Allah, ia tetap saja sebuah proses manusiawi yang penuh dengan nilai perjuangan dan semangat untuk diteladani generasi berikutnya. Kita tahu, bahwa dakwah Rasulullah selama 13 tahun di Makkah tidak membuat negeri itu menjadi negeri Islam. Bahkan yang terjadi, meskipun semakin banyak orang yang masuk Islam, orang-orang kafir Quraisy makin gencar menghalangi dakwah. Berbagai bentuk celaan dalam ribuan variannya telah dilancarkan. Siksaan kepada kaum muslimin yang lemah juga dilakukan. Berbagai negosiasi dan tawaran ditempuh agar dakwah berhenti. Sampai pemboikotan kaum muslimin hingga mereka terpaksa memakan daun-daunan. Semuanya tidak menghentikan dakwah. Hingga kafir Quraisy pun berencana membunuh Rasulullah.
Sementara itu, dari arah Yatsrib datang dukungan dakwah. Allah memberikan pertolongan dari jalan yang lain, ternyata. Setelah baiat Aqabah I, Rasulullah mengutus dai Islam Mush'ab bin Umair untuk mendakwahi penduduk Yatsrib, mengajarkan Islam kepada mereka. Hasilnya, penduduk Yatsrib berbondong-bondong masuk Islam. Mereka bahkan berbaiat melindungi Rasulullah melalui baiat Aqabah II. Mereka juga mengabarkan bahwa Yatsrib telah menjadi basis sosial yang siap ditempati kaum muslimin.
Maka, dua bulan lebih beberapa hari setelah Baiat Aqabah II itu, kaum muslimin Makkah yang kemudian dikenal dengan nama Muhajirin telah hijrah ke Yatsrib. Yang kemudian dinamakan Rasulullah sebagai Madinah. Kini tinggal Rasulullah dan Abu Bakar yang masih berada di Makkah. Sampai kemudian datang perintah Allah kepada keduanya untuk hijrah, tepat ketika mereka hendak membunuh Rasulullah dengan mengepung rumah beliau.
Hijrah bukanlah perjuangan ringan. Bayangkanlah orang-orang yang telah disiksa di kampung halamannya harus berpindah ke negeri lain yang tidak dikenal. Yang belum jelas. Yang masih samar masa depan di sana. Di saat yang sama ia harus meninggalkan rumah dan harta benda yang tidak mungkin dibawa. Seakan-akan mereka terusir. Terusir dari kampung halaman tanpa bekal dan tanpa kejelasan masa depan. Namun karena iman, mereka menempuh perjuangan sulit dan melelahkan itu.
Demikianlah, para sahabat rela meninggalkan kampung halaman dan semua harta benda mereka. Bahkan rela mengambil resiko nyawa karena tidak ada jaminan bahwa hijrah itu berjalan mulus tanpa halangan kafir Quraisy hingga bisa dengan selamat di Madinah. Misalnya Ayash bin Abi Rabi'ah yang akhirnya ditangkap oleh orang Quraisy, diikat dan dibawa kembali ke Makkah. Terlebih hijrahnya Rasulullah dan Abu Bakar yang langsung diburu oleh kafir Quraisy. Dan disayembarakan dengan hadiah besar bagi siapa yang bisa mendapatkan Rasulullah hidup atau mati. Tidak heran jika kaum muhajirin dipuji oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an dan dipersaksikan para shaadiquun:
“Bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. mereka Itulah orang-orang yang benar”. (QS. Al-Hasyr: 8).
Hijrah secara bahasa berarti "tarku" (meninggalkan). Dikatakan: hijrah ila syai' berarti "intiqal ilaihi 'an ghairihi" (berpindah kepada sesuatu dari sesuatu). Sedangkan secara istilah hijrah berarti "tarku man nahallaahu 'anhu": meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: "Muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah”. (HR. Bukhari)
Dengan demikian, hijrah secara maknawi terus relevan sampai kapan pun. Bahwa nilai dan semangat hijrah harus kita bawa dalam kehidupan modern ini. Kita berhijrah dari kejahiliyahan menuju Islam. Hijrah dari kekufuran menuju Iman. Hijrah dari kesyirikan menuju tauhid. Hijrah dari kebathilan menuju al-haq. Hijrah dari nifaq menuju istiqamah. Hijrah dari maksiat menuju tha'at. Dan hijrah dari yang haram menuju yang halal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar